Yogyakarta,
28 September 2013
Dear, the twenty-one years old me.
Pagi
ini aku begitu ingin menuliskan surat untukmu. Apa kabar kamu ketika membaca
surat ini? Pipimu tambah tembam. Kulitmu tambah gelap. Matamu penuh
lipatan. Senyummu, apa masih menghangatkan?
Suratku
kali ini bukan lagi surat penuh penyesalan dan derai air mata seperti
sebelum-sebelumnya. Jangan tertawa plisss... Ini edisi spesial kalau boleh
sombong. Oh, tentu aku tidak begitu saja bangun di pagi buta begini untuk
sekadar mengingatmu kemudian menuliskan surat ini untukmu. Asal kamu tahu saja,
sampai saat ini aku masih selalu menyempatkan diri untuk tidur, lama-lama. Iya,
kantuk itu memang menyebalkan dan menyenangkan. Hahaha.
How
was your flight?
Aku ingat, hari ini adalah hari kepulanganmu setelah hampir dua tahun numpang hidup
di negeri orang, Jerman. Kalau aku boleh sok tahu, ini adalah penerbanganmu
yang ke aku-lupa-hitunganku. Melintasi samudera. Menggagahi ribuan kota eksotis
hingga ke ujung utara bumi. Mereguk setiap serpih partikel-partikel beraroma
petualangan yang menggairahkan.
Akhirnya kamu berhasil menginjakkan kaki di negara-negara itu, ya. Negara yang awalnya hanya berani kamu impikan. Negara yang awalnya hanya selembar foto lecek seukuran postcard yang kamu gantungkan di dinding kamar. Jadi, bagaimana perasaanmu? Apa masih sama seperti perasaan saat penerbangan pertamamu?
Selamat
ya, akhirnya kamu berhasil menyelesaikan studi profesi di Jerman. Mudah-mudahan
gelar Registered Dietitian yang mengekor di namamu bukan hanya sekadar gelar
menunjang gengsi dan CV saja. Tapi bisa lebih dari itu, Ma. Kamu selalu ingat
bahwa sebaik-baik manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi orang
lain, bukan?