"Kebahagiaan adalah tidur dengan bantal yang penuh dengan air liur, bukannya air mata..."
—Theoresia Rumthe.
Alone. | Photo Credit: tumblr. |
Saat terlalu banyak menelan gundah di
kepala dan tidak dapat mengobrol dengan siapa-siapa, biasanya saya begitu ingin
menulis. Sendirian. Kalau sudah begitu, yang saya lakukan adalah cepat-cepat
pulang ke rumah. Menyeduh teh manis. Meredupkan lampu kamar. Ganti baju
longgar. Menepuk bantal mencari posisi yang nyaman. Lalu, mulai sibuk meracau
dengan alfabet.
Sesudahnya, saya akan sedikit merasa
baikan. Menulis memang obat mujarab. Meskipun saya sadar, dengan cara begini
malah membuat saya terlihat begitu menyedihkan. Iya, saya menyedihkan karena
tidak mau mengakui kalau saya mulai kesepian.
Pertengahan Maret masih sibuk merangkak,
ketika saya mulai membaca pertanda untuk segera mencari tempat perlindungan
baru. Menemukan lingkaran pertemanan yang menyenangkan, bukannya menemukan
tembok penghalang super tebal setiap kali pulang ke kontrakan.
Sayangnya, lebih awal membaca pertanda pun
nyatanya gagal membuat saya tidak kesepian. Cih.
Lewat April, peraduan saya mulai runtuh. Rasanya
sedih. Menemukan lampu kamar mandi di kontrakan yang (lagi-lagi) mati karena
korslet dan (sepertinya) tidak ada yang peduli. Tabungan sampah dari penghuni
lantai bawah, yang menggunung, berjamur, menyengat, entah sampai kapan menunggu
dibuang. Lampu kamar sebelah yang lebih sering mati karena ditinggal
pemiliknya. Antropolog di lantai bawah yang sudah tidak pernah menggeram Suku Tribal lagi. Kamar sebelah,
sebelah, sebelah dan sebelahnya yang lebih sering terlihat terkunci dari luar.
Sok menyibukkan diri dengan mengerjakan
laporan praktikum (yang mampu mencekik leher) ternyata percuma. Bahkan saking
sedihnya, saya pernah berkampret-kampret di twitter. Pencitraan buruk.
Kangen rumah, masih menjadi isu nomor satu
bagi saya. Iya, anggap saja saya adalah seorang perantau tahap beginner yang sedikit-sedikit menyusut
air mata minta pulang.
Apa iya cuma saya yang belum berhasil
memantapkan hati untuk berjuang di Yogyakarta? Pertanyaan retoris.
__________
Saya pernah menangis diam-diam sewaktu
patah hati. Sepanjang perjalanan pulang di angkot, mata saya basah. Entah
kenapa. Meskipun kalau saya bilang, ini satu hal yang konyol, sepertinya tidak
ada yang perlu ditertawakan. Memangnya kenapa tidak boleh menangis?
Dulu. Saya masih bisa cerita meler-meler
dengan Umi. Menertawakan bodohnya saya menangis karena hal yang begitu sepele.
Mengingatkan masih banyak yang lebih pantas untuk disyukuri. Lalu diajak
membayangkan, “Apa ya yang orang-orang di angkot pikirin waktu liat Mba Asma
nangis nyampe ingusan?”
Sewaktu saya menangis di kampus, beberapa
minggu lalu, saya hanya menemukan jendela yang lupa dikunci setibanya di kamar.
Juga textbook kuliah yang berjejer
sok seksi. Lalu, harum nasi matang dari ricecooker.
Sayangnya, saat itu semuanya kelihatan semu. Mereka itu sepertinya hanya pura-pura
kesepian, seperti saya. Sementara saat saya pergi, mereka ramai bercanda ke
sana ke sini.
Bahkan, tempelan kertas dinding berteriak, “Semangat,
Mak!” itu, tidak lagi mempan membengkakkan senyum saya. Bukannya mata ini.
Mungin saya harus membenarkan perkataan
saya sebelumnya: ketika tidak ada siapapun yang bisa diajak berbagi,
menulislah. Lalu, menangislah.
Jadi malam ini. Saya akan mencuci muka sebentar.
Merapikan kasur dari tumpukan komik-komik pinjaman. Saya akan tidur menghadap
dinding. Menyelipkan tangan saya ke bawah bantal. Mendengarkan kucing-kucing
mengeong di luar. Memejamkan mata.
Lalu, menangis. Diam-diam.
“Halo hatiku. Besok kamu akan baik-baik
saja.”
Yogyakarta, 14 April 2014