Kepada
Rama, penetas senyum yang bersarang di hati.
“Hai, pendek!”
Ingat
saat pertama kali kita satu kelas dan kamu selalu memanggilku dengan sebutan—menyedihkan itu? Semoga saja kamu masih mengingatnya
dengan baik, ya. Lihat saja, sekarang kamu hanya lebih tinggi
sejengkal-tangan-bayi dariku. Pun kalau kamu lupa, sepertinya aku akan menyesal
karena berusaha mengingatkanmu pada hal-hal bodoh yang terjadi saat itu.
Lagipula aku tahu kalau kamu ini pelupa. Pelupa yang sulit dilupakan. Ah,
lihat, aku bahkan mengawali tulisan malam ini dengan melemparkan gombalan
padamu, Ram! Hahaha.
Sebelumnya,
aku ingin merunut awal mula kita menjadi
sepasang-tetangga-bangku-yang-saling-sebal, oh, aku akan menyingkatnya menjadi:
perseteruan Asma dan Rama. Sebetulnya, aku pun memang pelupa. Aku tidak
terbiasa mengingat hari atau tanggal. Aku hanya pandai mengingat momen, lalu
melipatnya di lemari kepalaku.
Semoga
saja ingatanku masih benar.
Saat
itu kelas sembilan, dan kamu adalah tetangga-bangku paling menyebalkan nomor satu
di dunia. Ada banyak hal bodoh yang kamu lakukan—dan bagiku itu menyebalkan,
yang tiba-tiba saja aku temukan, setelah akhirnya aku mengenalmu. Ada banyak
umpatan yang aku selipkan di saku jaketmu, saking sebalnya. Pun, kamu
melunasinya dengan membuatku tertawa di sela-sela hibuknya pelajaran saat itu. Meskipun
sampai saat ini, aku masih saja bertanya-tanya, mimpi apa aku karena harus
duduk berseberangan bangku denganmu selama satu semester.
Oh,
jangan menuduhku telah menaruh hati padamu sejak dulu karena menceritakan
detilnya. Aku hanya, ah, kamu tahu kan kalau aku suka bercerita dengan detil.
Dan, aku ternyata masih menyimpan mereka di laci kepalaku. Asal kamu tahu, aku
tengah bersusah payah mengeluarkan mereka dari ingatanku, Ram!
Aku
lupa—atau melupakan, bagaimana kamu akhirnya bersama seseorang. Tidak, aku
tidak patah hati, sungguh. Aku hanya merasa sedih, karena tidak bebas lagi mengerjaimu
sepanjang pelajaran, atau sibuk menanyakan soal matematika yang tidak bisa aku
kerjakan. Aku khawatir, kalau-kalau menakalimu berlebihan akan membuatku tidak
selamat saat pulang sekolah. Hehehe, iya, aku memang suka berpikir yang
tidak-tidak.
Lalu,
aku dihujani doa dari segala penjuru agar Tuhan segera menyembuhkan hatiku.
Padahal, hatiku baik-baik saja. Huft. Manusia memang sering berlebihan, ya.
Selanjutnya,
garis pertemanan kita ternyata saling membelit. Ada hal yang sering membuatku
bertanya, hingga saat ini, bahwa lingkaran pertemanan kita jelas-jelas berbeda.
Kamu dengan teman-temanmu yang seperti itu, dan aku dengan teman-temanku yang
seperti ini. Setelah kamu putus, entah, alam melakukan konspirasi apa lagi, yang berhasil membuat
kita dekat.
Ya,
kamu seharusnya mulai banyak-banyak bersyukur sekarang, karena diperbolehkan mengenal
gadis semanis aku, Ram. Oke, oke. Kamu boleh mulai tertawa sekarang. Hahaha.
Lalu,
ada hari di mana aku akhirnya memperbolehkan kamu masuk ke duniaku. Karena apa?
Aku tidak tahu. Sepertinya nyaman. Bahwa
aku, masih bisa menjadi aku yang begini setiap kali bersama kamu. Bahwa aku, menjadi
diingatkan untuk memegang kepercayaan seseorang baik-baik. Oh, percayalah.
Perasaan itu tidak tumbuh semudah aku menceritakan ini padamu. Tidak
sesederhana itu.
Ada
perjanjian yang aku buat sendiri, selama empat tahun ini, bahwa aku, akan
menjagamu dengan pandai, karena tidak ingin tahu bagaimana rasanya menyakiti
seseorang yang aku sayang.
Tahun
kelima ini, bagaimana kalau kita berusaha untuk saling menyeimbangkan? Aku
tidak memintamu untuk berjanji, karena mungkin akan semakin sulit. Hanya saja
aku ingin sedikit mengingatkanmu. Saat kamu berlari terlalu kencang menuju
mimpimu, maukah kamu berbaik hati sesekali menengok ke belakang?
Akan
ada aku di sana, yang menetaskan senyum-senyum milikmu, di cangkir mataku.
Seperti balon, kamu pandai menerbangkan merah jambu di pipiku. |
Yogyakarta,
6 September 2014
Ram,
ada yang menyalakan kembang api di depan jendelaku malam ini. Hadiah darimu?