Namanya Rama. Rama
Putra.
Baru bulan lalu,
umurnya sudah legal secara hukum: 21. Tanpa perayaan, tanpa selamat-selamatan, hanya kecupan singkat dari kekasihnya—via
telepon, menggebu-gebu minta ditraktir. Heboh, katanya ada tempat makan
romantis yang harus didatangi berdua. Aku tergelak ketika dia menceritakan
betapa hebohnya dandanan Asoka, pacarnya, malam itu.
Kemarin, tiba-tiba
Rama bercerita padaku. Asoka, pacarnya, tiba-tiba merajuk ingin dinikahi.
“Aku bosan dengan kita yang begini terus,” kata Asoka sambil melihat-lihat katalog cincin pernikahan di pinterest, “Kalau sudah menikah, Abang bisa makan masakan buatanku setiap hari, Bang!”
Aku menggumam,
bertanya pada Rama, ‘bukankah dia bahkan tidak bisa membedakan jahe dan kunyit?’
yang di-iyakan Rama dengan anggukan kepala. Mantap.
“Menikah ngga sebercanda itu, lho,” kata Rama gemas. “Lagipula masakanmu belum ada yang bisa membuat Abang ngga sakit perut.”
Aku tertawa.
Rama benar-benar, ya!
“Iya, sih,” sungut Asoka sambil mengerutkan bibirnya, sebel, “Kok Abang jujur banget.”