#Fiksimini Empat (1)
Minggu, Januari 06, 2013
“Jalan yang biasa kita lalui tak cukup lagi untuk kita berdua.”
Seorang
gadis tergeragap, mencoba menemukan kata-kata di balik hening yang tiba-tiba
menguasai tubuhnya. Mencoba menerka setiap asa di balik kemungkinan yang akan
dikatakan seorang laki-laki di hadapannya. Laki-laki baik, yang sudah begitu
lama menjadi bagian hidupnya.
“Sudah tidak ada lagi kita.”
Si
Gadis pucat, tersengat kalimat yang baru saja terlontar dari laki-laki bermata
lembut itu. Gadis itu meremas-remas tangannya, putus asa menghilangkan keringat
dingin yang tiba-tiba muncul di sela-sela jemarinya, kebiasaan buruk yang tidak
pernah bisa ditinggalkan setiap kali dia merasa gelisah.
Ikat
kepala merah dengan hiasan bintang-bintang mungil di ujung jalinan rambutnya
terayun ketika ia menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Berpendar ketika tertimpa
cahaya. Berharap lamunan buruknya menguar di udara. Berharap ketakutannya
selama ini tidak akan dinyatakan laki-laki baik di hadapannya. Laki-laki baik,
pemberi ikat kepala merah dengan bintang-bintang mungil itu.
Wajahnya
semakin pias. Si Gadis bernapas perlahan sembari menguatkan paru-paru yang
tiba-tiba menolak bekerja. Demi mendengar serangkaian kata yang tidak pernah
ingin didengarnya.
“Lebih baik kita berjalan sendiri-sendiri saja.”
Dan bila
kau harus pergi
Jauh dan
tak kembali
“Kamu perempuan baik. Tidak pantas bersanding dengan seorang pria
brengsek sepertiku,” lanjut laki-laki itu lembut. Tatapannya
terpaku di bola mata bening milik gadis itu, tempat cintanya tertahan dulu,
dulu sekali. Bola mata yang selalu menggembirakan harinya. Bola mata yang ikut
bercerita riang di sela-sela perjuangan hidup pemiliknya.
Dada
si Gadis berdegup begitu kencang mendengar gema suara laki-laki yang begitu
disayanginya mengatakan serentetan kalimat itu. Kalimat yang pernah mereka
sepakati bersama, tidak akan pernah terlontar dari masing-masing mereka, “kamu
tidak brengsek. Kamu bukan laki-laki brengsek. Kamu tidak pernah brengsek.
Tidak. Kamu tidak brengsek. Kamu bilang kamu selalu sayang aku. Aku sayang
kamu. Dan bukankah selamanya akan selalu begitu?”
Laki-laki
bermata lembut itu terpaku, “kamu pasti tahu ada hal-hal sulit yang
terkadang membelit mimpi kita. Membuat kita harus selalu berpikir realistis,
dan aku tidak mau ada yang mengalah ataupun kalah di antara kita berdua.”
Mata
si Gadis mulai memanas, basah, “kamu bukan realistis. Kamu hanya tidak mau
lagi memimpikan tentang kita. Kamu sudah berhenti bermimpi. Kamu tidak mau
berjuang lagi untuk kita.”
“Tidak. Realistis dan berhenti bermimpi itu berbeda, tipis, tipis
sekali,” desah laki-laki baik. “Kamu perempuan terbaik yang pernah ku
kenal. Bertahanlah seperti ini.”
Hatinya
mencelos menatap air mata pertama mengalir di pipi gadis itu, gadis yang selama
ini selalu mampu membuatnya lupa akan setiap jengkal kesedihannya. Membuatnya
mampu bertahan dari beratnya hidup yang harus ditanggungnya. Desahnya semakin
memburu, “biarkan aku pergi mencari jalanku sendiri.”
Ku akan
merelakanmu
Bila kau
bahagia
Selamanya
Si
Gadis menengadahkan kepalanya, mencari-cari setiap kepingan cinta yang mampu
menggenapkan rindunya pada sosok di hadapannya, “apakah ada gunanya
melarangmu pergi?”
Pertanyaan
retoris. Laki-laki baik bermata lembut itu tersenyum, senyum yang sama, senyum
yang selalu disukai Gadis itu dan senyum yang sudah menawan hati si Gadis
sepanjang tahun. ”Berjanjilah, di manapun kamu nanti, teruslah bahagia!”
pesannya kemudian berlalu. Meninggalkan jejak dalam di langkah-langkah yang
telah dipilihnya. Menahan dirinya untuk tidak berbalik, kemudian berlari
merengkuh gadis yang pernah dimilikinya sepenuh hati. Berusaha menulikan
pendengarannya ketika mendengar isak tertahan gadisnya, penyebabnya berjanji
pada dirinya sendiri tidak akan pernah membuat gadis itu menangis.
Di sana
Walau
tanpaku
“Berjanjilah, berjanjilah untuk terus berjuang atas hidupmu
sendiri,” seru si Gadis kuat-kuat, menahan leleran air mata agar tidak terus
keluar. “Berjanjilah! Berjanjilah untuk terus bahagia. Berjanjilah padaku
agar kamu bisa mewujudkan mimpimu. Berjanjilah untuk tetap kuat. Berjanjilah.
Berjanji yaaaa,” si Gadis mencoba meriangkan suaranya, menepikan isak
tangis yang membekap lehernya.
Ku akan
mengerti cinta
Dengan
semua yang terjadi
Pastikan
saja langkahmu
Tetap berarti
Laki-laki
itu berhenti melangkah. Kelopak matanya mulai berembun, mengaburkan
pandangannya sepanjang jalan yang ia rasa tidak akan pernah ada ujungnya.
Napasnya sesak ketika dia harus menelan pil pahit kenyataan hidupnya,
bulat-bulat.
Bisakah aku
tanpamu
Sanggupkah
aku tanpamu
Hatinya
remuk. Getir.
bersambung ke #Fiksimini Empat (2)
5 COMMENTS
e gila.. baru part pertama udah hampir nangis. *hampir loh ya :p
BalasHapushahaha ini aku kasih bantal kalo mau nangis :p
Hapusasli. ikutan sedih baca ceritanya.
BalasHapussiapin tisu dulu deh sebelum baca sambungannya
cukup menyayat perasaan .___.
BalasHapusNice post ,
BalasHapusHello, there! Welcome to harianiseng. Have you travel around here a lot, and get lost? Make sure to pay a visit later! Love.