Suatu Saat Kita Akan ke Prancis, Sayang #2
Kamis, Juli 18, 2013
Sambungan dari Suatu Saat Kita Akan ke Prancis, Sayang
Tiba-tiba kamu mencubit pipiku gemas.
Tertawa melihat ada bekas jiplakan kain jaketmu mengular di pipiku. Saling
membagi senyum menguatkan. Sama-sama kelelahan, aku tahu. Kamu bergegas
menyeret kopor besar milik kita, berhati-hati menuruni tangga menuju metro,
kereta underground, transportasi yang
paling banyak digunakan di Paris. Aku menertawakanmu sesaat kemudian setelah
kamu berhenti tiba-tiba karena lupa menggandeng tanganku erat.
Kita bertemu dengan seorang wanita paruh
baya berambut pirang keemasan, shift penjaga
tiket metro pagi itu. Tersenyum ramah dari dalam booth penjualan tiket metro. Menyapa kami sebagai pelanggan pertamanya
hari itu dengan semangat, terdengar aksen Prancis kental.
“Bonjour
Monsieur et Mademoiselle. Nous ne pouvons rien faire? (Selamat pagi. Ada yang bisa kami bantu?”
“Ah, bonjour, Madame!(Ah, selamat pagi!)” aku
tergeragap. “Yes, please. We need two tickets to go to the Eiffel Tower. What
ticket do you have? (Ya, kami
membutuhkan dua tiket metro menuju menara Eiffel. Tiket apa yang tersedia di
sini?)” Saking gugupnya semua kosa kata Prancis yang telah ku latih
bertahun-tahun, buyar.
“Nous avons une ligne 6 du metro
et RER C. (Kami
mempunyai metro line 6 dan RER C)”
Kamu
mulai tak sabaran, “Anything which can make us arrive immediately at the Eiffel. (Tiket apa pun yang dapat membuat kami tiba
lebih cepat ke Eiffel)”
Wanita
berambut pirang itu tergelak, “Bienvenue a la francaise. (Selamat datang di Prancis.)”
Begitu menginjakkan kaki di metro, aku
tersadar bahwa baru saja terkena imbas pertikaian antara Inggris dan Prancis
ratusan tahun yang lalu. Apa pun yang aku tanyakan dalam bahasa Inggris,
dijawab perempuan berambut pirang tadi dengan bahasa Prancis. Membenarkan kabar
burung yang selama ini ku dengar bahwa penduduk Prancis; laki laki perempaun; amat
sangat mencintai bahasanya sediri. Mereka mempunyai culture litterair, melek budaya dan bercita rasa tinggi. You won’t be able living in here, if you
can’t speak French.
Aku nyengir lebar ketika melihatmu mulai
kebingungan mempelajari peta jalur metro dan kereta yang tertempel di pintu
metro. Kebingungan karena peta itu hanya menampakkan titik-titik berwarna merah
dan biru, yang berawal dari stasiun Gallieni,
dan berakhir di suatu tempat asing dengan pronouncation yang sulit diucapkan; Pant de Levallois-Becon. Aku hanya diam sambil menahan tawa
melihatmu kebingungan. Tidak ada yang bisa aku lakukan, bukan? Aku bahkan masih
tidak hafal arah mata angin di high
school dulu, bagaimana mungkin tiba-tiba keajaiban datang dan aku dengan
sakleknya memberitahumu jalur metro yang kita naiki ini.
“Stasiun Champs de mars tour eiffel,” suara kerasmu
mendesing di telingaku, menggangguku yang masih sibuk memperhatikanmu.
“Hah?” aku
kaget mendengar suaramu yang disengau-sengaukan, khas orang Prancis.
“Nanti
kita turun di stasiun Champs de mars tour
Eiffel, Ma Cherie.” Ma
Cherie, ulangku dalam hati. Ma Cherie artinya
Sayang, kan. Pikiranku sibuk membolak-balik kamus digital yang ku telan
semalam. “Menara Eiffel hanya berjarak
kira-kira 200 meter dari stasiun itu, kita bisa berjalan kaki.”
“Berjalan?
Dengan membawa kopor sebesar ini?” seruku
heboh, tak mengacuhkan tatapan terganggu milik penumpang lain.
Kamu terbatuk-batuk menahan tawa, “The
most important thing is two of us arrive in French, am I right?”
Aku mengangguk, mengeratkan genggaman, “Ya, kamu benar. Seperti biasa.”
Kita berdua terdiam. Sibuk dengan pikiran
masing-masing bahwa mimpi-mimpilah yang akhirnya membawa aku dan kamu tiba di
Prancis pagi ini. Perasaan hangat mulai menjalar dari langit-langit mulutku,
mengalami gerakan peristaltik di kerongkongan, siap memenuhi alveolus dalam
paru-paruku, ketika kerlipan di sekujur Nyonya Besar Eiffel mulai tampak di
penglihatanku. Euforia pun membuncah dari wajahmu. Terlalu excited menjemput saat-saat bertatap muka dengan sosok hitam yang
tinggi perkasa menjulang di depan. Menara Eiffel. Ya, Eiffel sungguhan yang
biasa kita lihat tertempel di textbook mata
kuliah kita.
Suatu
saat aku akan membawamu ke Prancis, Sayang
“Eiffel,”
kamu terpekik perlahan, dibarengi dengan derap laju kakiku terburu-buru
mendekatimu, “Eiffel, ya, kita sudah
sejauh ini, Sayang!” aku berseru menatap mahakarya Gustave Eiffel
kebanggaan Prancis.
Di bungkus kabut. Menara Eiffel berdiri
dengan angkuh berlatar belakang langit kelam Prancis di pertengahan musim gugur.
Ibarat penjaga raksasa di setiap derak kehidupan Eropa Barat. Menaranya bak
mahkota menembus langit, bercumbu dengan udara dingin di ketinggian. Pongah.
Tidak peduli pada setiap ratapan iri yang menatapnya penuh puja. Keempat
tungkainya, memesona mataku, melangkahi anggun Sungai Seine. Membelah anak-anak
airnya menjadi dua, yang kemudian dibentengi dengan selang-seling jembatan
penuh artistik berumur ratusan tahun. Mengesankan damai dan tenang. Setiap hela
riaknya memantulkan cahaya jingga keemasan dari kerlip cahaya di sekujur tubuh
kekar Eiffel. Katedral. Avenue. Taman-taman. Ornamen. Galeri. Saling memeluk erat. Menjadi
pemandangan penuh harmonisasi di kanan-kiri sang nyoya besar.
Kamu memanduku menyentuhkan tanganku
padanya. Setiap gurat kulitnya mengenai sensor-sensor syaraf di ujung jemariku.
Karpuskula Crausse. Dingin. Tapi
hangat mengular membasahi setiap senti organ-organ yang menempel di tubuhku.
Memaksa otakku untuk berhenti terpesona. Berhenti terpukau. Berhenti meyakinkan
diriku sendiri bahwa ini bukan sekadar mimpi indah. Lobus talamusku akhirnya berhasil
merefleksikan perasaan bahagia dengan bereaksinya syaraf-syaraf di otakku,
turun menggelenyar, perlahan menggerakkan otot-otot bibirku. Menumpahkannya
dalam senyum.
Ini Eiffel yang sama. Eiffel yang selama
ini terpatri lima sentimeter di depan kening. Dia masih sama, masih tetap
cantik. Terlebih dengan pantulan sewarna lembayung dari palet warna milik Tuhan
yang mulai menyemburat di ufuk timur. Eiffel yang sama meskipun seukuran
raksasa. Jutaan ribu kali lebih besar dibandingkan potretnya yang tergantung
elok di dindingku. Berkali-kali lipat lebih elok dibandingkan miniaturnya yang
tergantung di kunci sepeda motormu, lebih terlihat anggun daripada bandul
miniaturnya di gelang ikatku. Eiffel yang sama. Mimpi kita.
Dan pada akhirnya saat kita harus
bersegera pulang, ada dua kata yang harus kuucapkan padamu; Terima kasih.
Terima
kasih sudah mengajakku berjalan-jalan ke Prancis, Sayang
Banyumas,
17 Juli 2013; 23:34
Angin
mulai merisaukannya; seorang gadis bodoh yang mulai memaknai setiap rindu.
Xoxo,
Ma ♥
p.s
Ingatkah kamu pada
setiap percakapan tidak penting kita soal Negara ini? Betapa merasa
beruntungnya ketika pada suatu saat nanti dapat menghidu udara lembab di sana.
Ah, saat ini aku tidak sedang merengek memintamu untuk dibawakan Perancis.
Lagipula ini bukan soal pembuktian cinta seperti Roro Jonggrang meminta dibuatkan
seribu candi pada Bandung Bandawasa, atau perahu milik Sangkuriang demi
cintanya pada Dayang Sumbi.Tidak. Hey, bukankah akan lebih ada artinya berdua
bersamamu, di mana pun kita, dalam keadaan bagaimanapun juga? Terima kasih
untuk sisa-sisa kebersamaan selama ini, ya. Love you! J
22 COMMENTS
Uuhmm... france :3
BalasHapustake me there!
Hapustunggu, aku cariin bundadari dulu...
HapusSuka banget dengan cerita semacam ini. Kamu terlihat fasih menceritakan tentang paris. :)
BalasHapuspasti tambah suka kalau dapat bonus pergi ke sana juga hehe. terima kasih :))
Hapustentunya :)
Hapustulisannya bagus, jadi pengen ke Eiffel juga :')
BalasHapusyuk pergi!
Hapussemoga tercapai ya...
BalasHapusITDare Blog
yep terima kasih :)
Hapusya, teruslah bermimpi, karena bnyak hal terjadi berawal dari mimpi. sy juga sedang ngejar progres biar bisa kuliah ke jepang, mudahan tahun ini bisa kuliah lagi. walau di dalam negeri, gapapa lah
BalasHapusiyaa, tapi yang lebih penting lagi usaha buat 'nyatain' mimpi itu kan hehe. nah, salam sukses ya oom :D
Hapusje t'aime asmaa :D haha
BalasHapusje t'aime beaucoup, elaa muah :D
Hapusj'adore asmaa !
BalasHapusmerci. je suis belle hahaha
Hapusfollowback kak :D
BalasHapushttp://nurulikaruzumi.blogspot.com/
done yah :)
Hapusmari bertemu di sana ;) aamiin..
BalasHapusaamiin mbak jeka :))
HapusAh suka banget ngedenger yg ngomong bahasa Prancis. Kesannya romantis bikin merinding.
BalasHapusIya apalagi orang Prancis kan kalau ngomong pakai suara hidung. Hahaha.
HapusHello, there! Welcome to harianiseng. Have you travel around here a lot, and get lost? Make sure to pay a visit later! Love.