#Day 6: When Everything So Stupid
Jumat, November 29, 2013
But she
wasn’t around, and that’s the thing when your parents die, you feel like
instead of going in to every fight with backup, you are going into every fight
alone.
— Mitch
Alborn, For One More Daytumblr |
Suatu
malam saya bermimpi. Mimpi buruk. Amat buruk. Bahkan membuat saya terbangun tengah
malam dengan kening penuh keringat dan napas yang tersengal. Setelah sebelumnya
—di dalam mimpi itu— saya bersikeras untuk membangunkan diri saya sendiri. Memaksa
saya berhenti melihat kelanjutan mimpi memabukkan
itu. Kamu pernah tidak, bermimpi
begitu buruk hingga menyadari bahwa yang membuatmu terbangun adalah kamu
sendiri di dalam mimpi? Saya pernah. Itu pertama kalinya, kalau boleh jujur,
dan ini terkadang membuat saya berpikir, hey,
I’ve been talking to myself like crazy.
Saya
begitu takut saat itu. Dan bodohnya, saya selalu saja mampu mengingat dengan
baik setiap detail dari hal-hal yang membuat saya ketakutan. Saya pandai
mengingat perasaan gelisah di hari pertama saya periksa gigi ke dokter,
daripada mengingat saya seharusnya selalu gosok gigi sebelum tidur. Saya mudah
membayangkan bentuk si kaki seribu
yang membuat saya ketakutan setengah mati, daripada mengingat-ingat dia masuk ordo mana pada kelas taksonomi.
Ya, sepertinya saya memang ditakdirkan untuk pandai mengingat dan memperhatikan
hal sepele. Pheww..
Pun
saya masih mengingat mimpi itu dengan… begitu
baik.
Langit
sendu —di mimpi itu. Gerimis kecil. Orang-orang mengenakan pakaian gelap. Payung-payung
hitam. Kembang kamboja merah muda berserakan di rerumputan. Gundukan tanah
merah. Isak tangis. Aura kehidupan yang redup. Orang-orang di sekeliling saya
memandang saya dengan tatapan… kasihankah?
Mendung
mulai menggantung, hendak memuntahkan buliran air yang amat saya gemari. Hujan.
Saya mulai meringis kegirangan ketika rintik pertamanya jatuh di ujung hidung
dan mulai menyadari sesuatu. Tidak seharusnya saya berada di tempat itu.
Tertawa tanpa beban. Saya sendirian. Menghadiri pemakaman seseorang. Entah siapa.
Saya
bersyukur sekali ketika berhasil bangun dan bertanya-tanya, pemakaman siapa yang aku hadiri tadi?
Yang
jelas, saya —di dalam mimpi, langsung tertegun ketika melihat peti mati
diturunkan ke dalam tempat barunya. Sudah
waktunya, guman orang-orang berpakaian gelap itu. Isak tangis mulai menyelimuti.
Kesedihan membeo. Kemudian mereka bergantian menepuk bahu saya. Apakah ini tepukan menguatkan? Saya
tidak tahu.
Yang
jelas (lagi), saya —di dalam mimpi, langsung menangis begitu deras. Memuntahkan
semua gumpalan kesedihan yang ada di kepala saya. Memuntahkan setiap percik asa
dari hati saya. Pecahkah hatiku? Aku
menangis untuk siapa? Aku kehilangan siapa? Saya tidak tahu (lagi).
Saya
terbangun setelah saya —di dalam mimpi, berlari begitu jauh hingga terengah-engah.
Hilang arah. Tersesat di hutan lebat berlumut yang lembab. Matahari tak
menampakkan sinarnya. Sendirian. Berteriak-teriak memanggil setiap nama yang
spontan terlintas di kepala. Lalu tersedu.
Saya
terbangun tiba-tiba dan menggigil. Bukan, bukan karena dingin udara Banyumas
yang menelisik di sela-sela perut saya. Tetapi saya ketakutan. Amat ketakutan. Saya
ketakutan karena tersadar bahwa suatu hari pasti akan datang masanya mereka —orang-orang
yang saya kasihi, pergi. Pun yang
terjadi sebaliknya, mungkin sayalah yang terlebih dulu pergi.
Ada
kalanya, ketika kepergian itu datang,
orang-orang yang ditinggalkan tidak lagi menjadi sosok yang sama seperti
sebelumnya. Mereka tertawa dengan cara yang baru. Mereka tersenyum menguatkan
hati mereka masing-masing. Mereka berbicara tanpa usaha untuk menyenangkan
lawan bicara. Seseorang di antara mereka mungkin akan lupa bagaimana caranya
menangis karena hal-hal tentang kepergian
berada di ambang batas kesedihan mereka. Sebaik apapun mereka —orang-orang
yang ditinggalkan, merawat hati mereka yang kosong, mereka akan menjadi sosok
yang jauh berbeda dari sebelumnya. Saya sendiri belum terbiasa dengan kepergian, pun tidak ingin membiasakan
diri.
Selama
delapan belas tahun saya hidup, saya baru pernah menghadiri dua pemakaman.
Pemakaman tetangga depan rumah dan pemakaman sahabat sebangku saya. Mungkin bisa
disebut satu, karena saya masih begitu kecil ketika menghadiri pemakaman
tetangga depan rumah. Saya tahu. Bukan perasaan yang menyenangkan ketika di
pemakaman terakhir saya hanya bisa terisak-isak. Menangisi untuk… entahlah.
Terlalu banyak hal yang membuat saya ingin menangis. Padahal kami baru
bersahabat selama tiga bulan. Hahaha saya tahu, saya begitu menyayangi dia.
Dan,
ya. Saya takut merasa sendirian.
Tapi
saya selalu tahu, saya punya Allah, yang begitu setia mendengarkan setiap
keluhan yang saya ucapkan. Bahkan ketika saya merasa begitu jauh dari-Nya, Dia
masih memeluk saya dengan setiap kebahagiaan di hari-hari kecil saya. Saya
tahu. Sudah saatnya saya berhenti ketakutan karena ini. Berhenti takut merasa
sendiri.
Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk
tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, dan kepada
kedua orangtuaku dan untuk mengerjakan amal sholeh yang Engkau ridhoi. Dan
masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang sholeh.
28 COMMENTS
kan kata MJ juaga, you are not alone, hehee :D
BalasHapustemenin sama Mba Rani ya :)
HapusAamiin ya Robb. Bersandar pada Nya dengan keteguhan hati
BalasHapusinsyaALLAH :)
HapusAduh, bikin merinding nih postingan, Ma. -_-
BalasHapusYa, setiap makhluk yang bernyawa pasti akan kembali pada-Nya.
Siap gak siap, kita harus mempersiapkan diri........
ya ampun BangMat dalem banget :(
Hapussemoga itu hanya mimpi buruk, sis :)
BalasHapusi hope so..
HapusYou were never alone =)
BalasHapusthat's because of Him :)
Hapuslosing beloved ones is hard, but if we can accept it with all of our heart, it will be alright :) nice post! please visit my blog....
BalasHapusbut everything gonna change. thats the point :(
Hapuswaduh. ini postingan buat takut juga ya.
BalasHapustapi sekaligus menyadarkan, kalau kita gak selamanya hidup di dunia ini. pasti akan berpulang ke tempatNya
huhuhu iya. harus siap-siap dari sekarang. bismillah.
Hapusngeri mimpinya..saya juga sempat bermimpi seperti itu..
BalasHapusjangan ldua kali, ya.
HapusPernah juga mimpi kayak gini, vivid banget lagi mimpinya. Pas bangun rada-rada bingung, tapi alhamdulillah nya jadi lebih bersyukur itu tadi cuma mimpi, belum kejadian.
BalasHapusbelum berdoa ya waktu mau tidur? hehehe. ambil pelajaran aja sih kalo aku.
Hapushidup memang penuh dengan pertemuan dan perpisahan. tapi yakinlah kita ga akan pernah sendiri :))
BalasHapusiya, karena selalu ada Allah dan orang-orang yang menyayangi kita.
Hapusyou're not alone
BalasHapuspercayalah dimanapun dan kapanpun kita selalu berada di bawah lindunganNya
percaya kok, Pak :)
Hapushorror . . . :D
BalasHapusehmm.
Hapusaku juga takut sendirian, tepatnya takut kesepian :(
BalasHapussini aku temani :)
Hapuskesan tulisannya kece kak.. seolah membawa pembacanya kedalam mimpi itu sendiri, ada kesan2 gimana gitu.. hhe.. salam kenal kak.. follow back ya kak.. ^_^
BalasHapusah terima kasih. ini juga masih belajar hehe. oke.
HapusHello, there! Welcome to harianiseng. Have you travel around here a lot, and get lost? Make sure to pay a visit later! Love.