1..2..3.. | Photo Credit: imgfave |
Hai Bapak,
Sudah
lama sekali aku tidak berusaha menulis. Kibor yang tengah aku petik ini bahkan
sedikit-sedikit mulai ngambek. Tidak mau disentuh. Membuatku salah-salah
mengeja kangen. Membuatku harus pandai-pandai menyembunyikan seraut mangkel yang mengular di sepanjang pipi.
Bapak.
Sudah lama sekali kita tidak saling menyapa dalam nyata. Kapan kali terakhir
bertemu? Awal bulan lalu, ya? Sepertinya, aku masih mengingat resonansi
percakapan kita saat itu. Bapak tahu, aku seringkali terkesan lambat memahami
ceritamu, tapi ternyata itu membuatku mengingatnya dengan baik. Apalagi
ditambah sebungkus cappuccino cincau dan
sepiring telur-entah-apa-namanya. Bapak yang membayar, bukan? Ah, ternyata ini
yang membuatku masih mengingatnya. Hahaha.
Bapak.
Apa kabar?
Akhir-akhir
ini, mendung sering menggelantung di langit-langit kamarku. Mereka jago menjelma
menjadi kemuraman. Membungkus separuh hatiku. Membuatnya hampir pecah, dan
bukan lagi patah.
Bapak.
Aku sedih.
Kemarin,
lewat sambungan telepon, aku tidak sanggup membagi rahasia paling menyedihkan sedunia. Hei, Bapak tidak boleh
percaya kalau ini memang benar-benar menyedihkan, soalnya aku kan sering
berlebihan, ya. Hehehe. Tapi sekarang aku sudah baik-baik saja. Aku sudah
pandai memperbaiki perasaanku sendiri. Bahkan, tidak usah lagi menelepon tengah
malam. Lalu menangis diam-diam. Sahabatmu ini sudah gede :))
Oh,
iya.
Belakangan,
aku terlalu sok menyibukkan diri. Membuat pesan balasan dariku begitu lama
hinggap di kotamu. Membuat teleponmu sering berakhir dengan nada sambung tak
sampai. Sampai-sampai membuatku lupa pada surat yang sudah aku janjikan di permulaan
tahun ini. Maafkan aku, Pak.
Sudah
lama sekali tidak bersitatap. Semoga Bapak masih mengingat wajah menyebalkanku
ini dengan baik, ya.
Sudah
banyak sekali cerita yang ingin aku beritakan. Ah Bapak, sepertinya mereka sudah
hampir menyerupai sebuah gunung.
Sudah
lama sekali tidak mendengar Bapak misuh-misuh
setiap ada yang tidak beres.
Sudah
lama sekali tidak mengobrol (dengan tenang) bersama Bapak. Tanpa perlu
repot-repot berpikir menemukan topik berikutnya ketika stuck. Tanpa perlu khawatir terlihat begitu bodoh dengan respon
yang aku lemparkan. Tak usah susah payah menyaring setiap percakapan.
Duh,
kapan Bapak sempat main ke Yogyakarta? Hehehe.
______________________
Yogyakarta
sedang hujan, Pak. Bapak sedang apa?
Ini lewat
hari ke dua puluh Bapak bersembilan belas. Iya, aku baru saja menghitungnya,
dengan teliti. Semoga saja tidak salah. Setepat perasaanku membuncah penuh rasa
syukur karena memiliki seorang sahabat baik seperti Bapak. Bapak tahu? Tidak
ada perempuan seberuntung aku yang mengenal Bapak dengan baik. Ah, tidak begitu
baik, sih. Aku hanya mengenal Bapak apa adanya. Hehehe.
Ah,
Bapak. Aku baru sadar. Ternyata, ini tahun terakhir Bapak berusia belasan. Begitupun
aku. Meski sebenarnya, aku tengah berusaha melupakannya lewat-lewat. Maksudku,
ini hanya umur. Apa sih artinya? Bukankah yang lebih penting adalah setiap
perjuangan yang kita lalui setiap harinya?
Semoga
saja. Tahun ke sembilan belas ini merupakan sebuah titik tolakan bagi Bapak untuk
selalu berusaha menjadi lebih bermanfaat bagi orang lain, ya. Menjadi sebuah
titik pencapaian bahwa Bapak tengah berlalu dengan kehidupan yang baru.
Kehidupan yang lebih bermakna. Bukannya disibukkan dengan lamunan di masa lalu.
Lagi-lagi.
Seperti tahun lalu, aku masih setia berucap: Selamat ulang tahun, Bapak. Tidak ada kado terindah selain doa yang
dipanjatkan penuh rasa syukur, bukan?
Tahun ini, apa Bapak mau aku doakan: semoga segera menemukan pendamping hidup yang tepat? Boleh tidak, nanti dia aku panggil Ibuk?
Selamat ulang tahun, ya! | Photo Credit: fabiograph |
Yogyakarta,
pertengahan malam, antara bulan Februari dan April, 2014
ashima,
yang dulu sering berbalas panggilan: Si Sobat.
yang dulu sering berbalas panggilan: Si Sobat.