Aku memanggilnya Katya, Teh Katya.
Umurnya, “Rahasia!” serunya, tawanya meledak setelahnya. “Tidak ada yang salah dengan merahasiakan umurku padamu, kan, Ma?” katanya lagi, sembari berkedip-kedip genit. Ada lesung pipi kecil di pipi kirinya.
Aku tergelak, “Tentu tidak.” Meskipun aku tetap harus memaksa diriku untuk berhenti menerka-nerka bilangan umurnya. Dia akhirnya membolehkan aku menyematkan panggilan kakak perempuan padanya—Teh Katya, setelah aku bersusah payah membeberkan bukti bahwa umurku tidak setua penampilanku.
Ini pertemuan pertama kami, tidak sengaja, di salah satu tea house berkonsep sederhana yang kutemukan saat perjalanan pulang. Merasa membutuhkan tempat yang tepat untuk menyelesaikan deadline tulisan, akhirnya aku memesan satu kursi, impulsif. Tempat duduk pilihanku di sudut, dekat dengan rak tinggi berdebu yang dipenuhi dengan buku-buku terbitan lama.
Teh Katya datang setelah aku menyelesaikan separuh tulisanku, lima menit sebelum pukul sebelas. Perempuan itu berkata, tea house sedang ramai dan tidak ada tempat duduk lainnya, kemudian meminta persetujuanku untuk berbagi meja. Aku menggangguk, menggeser cangkir tehku.
Berawal dari kegelisahanku karena duduk satu meja dengan seseorang yang tidak aku kenal, akhirnya aku menutup file tulisanku. “Tidak bisa menulis”, keluhku. Akhirnya sudah hampir satu jam kami tenggelam dengan fragmen percakapan antara dua orang yang tidak saling mengenal sebelumnya.
Teh Katya baru saja menyayangkan pekerjaanku sebagai ghost writer ketika dia tiba-tiba melemparkan tuduhan padaku, tanpa tedeng aling-aling.
“Kamu pasti sedang terobsesi dengan seorang pria,” analisisnya padaku, menyesap teh hitamnya perlahan-lahan. “Atau… sedang patah hati.”
Aku menghela napas, “Yang kedua,” lalu melemparkan raut muka penuh pertanyaan, “What is your evidence?”
“I just know it.”
Jawabannya membuatku skeptis. Sepuluh menit setelahnya, aku memaksanya mendengarkan ceritaku, bahwa aku tidak percaya dengan hal-hal yang abstrak, seperti cinta pada pandangan pertama, reinkarnasi, arwah penasaran, termasuk tuduhan tanpa bukti.
Setelah aku terdiam, dia menghidu aroma tehnya, sebentar, lalu berkata, “Muram.” Hanya satu adjektif yang terkesan dari rautku, katanya, membuatku terdiam.
“Juga karena teh pilihanmu.” Chamomile memberikan kesan pertama yang manis, dan sedikit sulit dijelaskan—seperti sekeranjang apel segar dan campuran rasa lainnya yang meledak di mulut. Chamomile memang tidak pekat, tetapi menenangkan.
Akhirnya sisa pertemuan kami dihabiskan oleh Teh Katya yang bercerita tentang kekasih kecilnya. Kenangan mengenai seorang remaja laki-laki berusia tujuh belas tahun yang selalu mempunyai semangat menggebu-gebu; mengenai tawanya yang begitu lepas saat menertawakan kebodohan masing-masing; mengenai surat-surat rahasia yang mereka bagi berdua; mengenai pengakuan cinta yang membuat hubungan mereka renggang; hingga akhirnya ketika laki-laki itu jatuh cinta dengan perempuan lain.
“Ashima, kamu tidak bisa benar-benar berhenti mencintai seseorang,” keluhnya sambil menatapku dari balik kacamatanya. “Setidaknya, kamu bisa belajar untuk hidup tanpa mereka.”
Aku tertegun, “Ya. Cinta bagiku, tidak pernah berhenti. Cintaku berlanjut, dan berlanjut.”
“Aku hanya butuh waktu, sedikit lebih lama.”
♫ Mou sukoshi dake de ii ato sukoshi dake de ii
Mou sukoshi dake de ii kara
Mou sukoshi dake de ii ato sukoshi dake de ii
Mou sukoshi dake kuttsuite iyou ka ♫
♫ It’s only a little further, just a little longer
We’re almost there
It’s only a little further, just a little longer
So shall we stick together just little longer? ♫
—Nandemonaiya, OST Kimi no Na wa
Mou sukoshi dake de ii kara
Mou sukoshi dake de ii ato sukoshi dake de ii
Mou sukoshi dake kuttsuite iyou ka ♫
♫ It’s only a little further, just a little longer
We’re almost there
It’s only a little further, just a little longer
So shall we stick together just little longer? ♫
—Nandemonaiya, OST Kimi no Na wa