“Perginya ngga bisa ditunda lagi, ya?”
Langit gelap. Gerimis sudah sibuk mengetuk-ngetuk kaki runcingnya di jendela saat kamu memberitahuku kalau waktu keberangkatanmu sudah tiba. Tidak lama lagi. Aku tahu, kamu memang akan, dan harus, pergi. Tapi, aku pikir tidak dalam waktu dekat. Dalam zona waktuku, ini benar-benar mendadak.
Aku mulai merajuk, “Kenapa, sih, harus pergi?” Benar-benar, deh. Sebagai orang yang benci spontanitas, aku sangat tidak suka kejutan.
“Karena sudah waktunya,” katamu tersenyum. Lalu melemparkan raut bertanya, “Kamu sudah tahu kenapa, kan?”
Aku mengangguk, teringat ceritamu beberapa hari yang lalu. Kamu bilang, Kapten Kapal sudah memanggilmu untuk bergabung. Permintaan ini benar-benar penting, tidak ada waktu lagi untuk bilang nanti-nanti.
Lagi-lagi, aku merasa ini terlalu cepat. Panik. Aku bergegas memaparkan berbagai kemungkinan buruk yang bisa terjadi padaku setelah kamu pergi.
Mungkin, aku akan jadi malnutrisi dan berstatus gizi buruk karena sulit makan dan banyak menangis saat mengingatmu. Atau, bisa jadi, minusku bertambah karena keasyikan maraton film Ip Man, atau Cars, atau Minion, atau Kimi no Nawa, dari jarak dekat. Atau ini, aku tetap makan dengan berantakan karena tidak ada kamu yang suka mengomeliku. Makananku akan sering bersisa karena tidak ada kamu lagi yang membantuku menghabiskannya.
Aku mungkin saja bisa jadi orang linglung. Maksudku, tanpa kamu, aku pasti jadi lembek.
Kamu tertawa, tawa yang sama yang selalu membuat kedua kakiku meleleh, “Ih, lebay, deh. Kebiasaan!” sergahmu. Aku merengut, bersiap menjabarkan hal lain yang lebih masuk akal. Mungkin, soal hujan yang akan turun setiap sore, atau langit yang akan jadi kelabu dan menyusahkan semua orang. Pertahanan terakhir, demi menahanmu agar tidak pergi.
“Kamu akan baik-baik saja,” katamu. Lalu, bersikukuh kalau kemungkinan terburuk yang terjadi padaku adalah: kangen. Padamu, tentu saja. Itu saja. Tidak ada yang lain.
“Baiklah,” aku sepakat, kangen memang bukan hal yang bagus. Rasanya tidak enak sama sekali, ngeri. Aku jadi ingat, terakhir kali kangen padamu, tulisan yang aku buat justru penuh dengan puisi cinta untukmu.
“Terus, kalau aku kangen, gimana?”
“Sebelum terlanjur kangen, aku akan kasih tindakan preventif,” katamu bersungguh-sungguh, kemudian menepuk kepalaku berkali-kali. “Jadi kuat, jadi kuat, jadi kuat, jadi kuat.”
Aku hanya bisa diam, sembunyi-sembunyi menatapmu. Ini tidak akan berhasil. Cangkir mataku mulai pecah.