“Perginya ngga bisa ditunda lagi, ya?” Langit gelap. Gerimis sudah sibuk mengetuk-ngetuk kaki runcingnya di jendela saat kamu memberitahuku kalau waktu keberangkatanmu sudah tiba. Tidak lama lagi. Aku tahu, kamu memang akan, dan harus, pergi. Tapi, aku pikir tidak dalam waktu dekat. Dalam zona waktuku, ini benar-benar mendadak. Aku mulai merajuk, “Kenapa, sih, harus pergi?” Benar-benar, deh. Sebagai orang yang benci spontanitas, aku...
Suatu ketika, Kak Theo tiba-tiba bilang bahwa, setiap cinta punya fase percakapannya sendiri-sendiri, dan begitu saja, saya bersepakat. Berbeda dengan kencan di hari biasa lainnya—ketika kami memulai segala sesuatunya mengenai progres skripsi yang nihil; atau hujan yang belum datang; atau betapa crunchy-nya kulit pizza kesukaan, kami menemukan potongan percakapan yang, barangkali, lebih serius dari biasanya. Misalnya, seperti rencana-rencana yang akan dilakukan untuk masa...
"Ashima, tadi pagi Abang bilang, aku harus mengikhlaskan Ibu." Pagi tadi, selepas subuh, Maharani tiba-tiba meneleponku. Suaranya gemetar mengabarkan kondisi ibunya yang kritis. Ingatanku tenggelam pada Tante Swastika, salah satu dari sedikit perempuan yang aku kenal baik, tersenyum ceria saat memberiku keripik kentang buatannya untuk bekalku merantau. Itu sudah lama sekali, dua tahun yang lalu. Aku terbatuk. "Tante Swastika gimana?" Suaraku habis, berkat...
Aku memanggilnya Katya, Teh Katya. Umurnya, “Rahasia!” serunya, tawanya meledak setelahnya. “Tidak ada yang salah dengan merahasiakan umurku padamu, kan, Ma?” katanya lagi, sembari berkedip-kedip genit. Ada lesung pipi kecil di pipi kirinya. Aku tergelak, “Tentu tidak.” Meskipun aku tetap harus memaksa diriku untuk berhenti menerka-nerka bilangan umurnya. Dia akhirnya membolehkan aku menyematkan panggilan kakak perempuan padanya—Teh Katya, setelah aku bersusah payah membeberkan...