Suatu ketika, Kak Theo tiba-tiba bilang bahwa, setiap cinta punya fase percakapannya sendiri-sendiri, dan begitu saja, saya bersepakat.
Berbeda dengan kencan di hari biasa lainnya—ketika kami memulai segala sesuatunya mengenai progres skripsi yang nihil; atau hujan yang belum datang; atau betapa crunchy-nya kulit pizza kesukaan, kami menemukan potongan percakapan yang, barangkali, lebih serius dari biasanya.
Misalnya, seperti rencana-rencana yang akan dilakukan untuk masa depan—salah satu percakapan yang akhir-akhir ini lebih sering kami temukan. Favorit saya!
Setiap kali proyeksi imajiner tentang rencana-rencana masa depan terlempar hingga langit-langit, dan selesai dibahas, kami akan bersepakat untuk mengiyakannya berdua, bersama-sama. Atau terkadang diselipi gurauan, lihat dulu bagaimana semesta berkonspirasi untuk kita. Setelahnya, saya akan bersusah payah melipat tawa ketika fase percakapan mulai terdengar dewasa, barangkali, tidak ada yang tahu.
Atau mungkin pada kesempatan lainnya, saat saya ingin tahu alasan yang membuatmu memilih untuk bertahan. Lalu, tiba-tiba saja, kamu punya jawaban yang memukau, karena kamu adalah perempuan yang membuat saya selalu ingin bersungguh-sungguh, untuk lebih baik.
Saat itu, saya pikir, kamu mungkin sedikit berlebihan, atau menjawab sekenanya supaya kelihatan lebih keren, atau sekadar rayuan. Tapi mungkin juga tidak, karena saya tahu, kamu sedang bersungguh-sungguh.
Saat kamu bilang, seperti kamu yang tidak lagi sekadar melengkapi saya, kita sudah berada pada fase saling mendukung, saling menguatkan, senyum saya semakin tumpah. Kupu-kupu di perut saya sudah lama tidak berterbangan.
Barangkali, jawaban saya untuk pertanyaan yang sama adalah, karena saya ingin terus menyayangimu dengan sungguh-sungguh. Entah sebagai sahabat, atau kekasih seumur hidup.
Barangkali, saya hanya ingin menjadi seseorang yang ada di sampingmu, selalu. Perempuan yang kamu syukuri karena saya ada, dan pernah ada.
Barangkali, saya hanya ingin meninggalkan jejak, untuk satu sama lain. Seperti bau tembakau yang mengingatkan saya padamu. Seperti novel-novel picisan yang, mungkin, langsung membuatmu teringat pada saya.
Barangkali, saya hanya ingin bersama kamu, bahkan pada titik ketika kita sedang tidak beranjak kemana-mana. Itu saja.
“Saya sayang kamu, sungguh-sungguh!”
Yogyakarta, 21 Mei 2017.
p.s
Sip. PR-nya sudah, ya! Kencan nanti, gelatonya biar aku yang bayar, karena aku sayang kamu! (laugh).