Cerita Magang #2: That Hard-Work
Rabu, Januari 08, 2014
Halo.
Karena hari ini ternyata tidak hujan, saya akan melanjutkan seri Cerita Magang yang pernah saya janjikan
minggu lalu di sini. Cerita ini mungkin tidak semenarik laga penculikan Dewi
Shinta oleh Rahwana tetapi.. entahlah, mungkin saya hanya ingin menuliskannya
di blog untuk dikenang lagi kapan-kapan. Selamat mendengarkan!
______________________________
The
three great essentials to achieve anything worthwhile are, first, hard work;
second, stick-to-itiveness; third, common sense.
—Thomas A. Edison
Semangat! | Photo Credit: here |
Seperti
yang sudah saya ceritakan sebelumnya, tugas pertama kami —anak baru Medisina— sebelum
diterima secara resmi menjadi Awak Medisina adalah membuat buletin Medisina
edisi magang. Setelah rapat-kecil-pertama membahas tema (yang tidak segampang
menulisnya) kemudian pembagian tugas antar kelompok kecil, akhirnya para Awak
Medisina baru mulai belajar mengembangkan sayapnya. Saya bertanya-tanya, boleh
tidak ya Awak Medisina diganti sebutan dengan Medisiner? Hahaha. Just
random though.
Saya
kebagian teman kerja bersama Sherli Damara Pratiwi alias Sherloy dan Annisa
Luthfia alias Komjend. Kedapatan editor Mas Jindan dan Mba Anes. Itulah kenapa saya bilang Mas Jindan the
best editor so far soalnya editor pertama
kami, sih. Hahaha. Awalnya kami kedapatan tugas mengerjakan Berita Utama
dua, sesuai dengan tema buletin kali itu. Setelah diskusi panjang, telah
berhasil menentukan orang-orang yang akan kami wawancarai, sudah mengatur
agenda untuk bertemu bertiga dan mengerjakan penuh semangat, sampai suatu hari
dapat pemberitahuan kalau kami dipindah tugaskan mengerjakan artikel isu
kesehatan yang ternyata lumayan memutar otak sekali.
Saat
buletin ini dalam proses pembuatan, media tengah ramai membicarakan kasus bertagline Dokter Bukan Tuhan mengenai kriminalisasi
dokter Ayu. Ingat? Kami diminta mengangkat
isu tersebut karena.. ya, tahu sendiri saya kuliah di lingkungan
berdokter-dokter, even I’m not one of
them. Ada satu kasus lagi, sih sebetulnya. Akhir tahun lalu dan lumayan
kontroversial. Ingat tidak?
Dan,
ya, seiring cerita ini mulai kedengaran membosankan, kami bertiga mulai
bekerja. Jam terbang kami tidak mengerikan seperti bayanganmu kok. Banyak
hari-hari yang kami lewati tanpa progress
apapun sampai akhirnya ketika deadline
mulai menerkam, kami kelabakan. It’s
like seriously hahaha karena kami bertiga kesulitan mengatur jadwal bertemu
bertiga. Sebetulnya tidak harus bertiga, sih, tapi rasanya ada yang kurang
ketika kami hanya membicarakannya via chat
facebook tanpa berkumpul bertiga. Pun ketika berkumpul bertiga malahan
ngobrol. Hahaha. Me act like a common-girl.
Such a stupid-moment ketika
kami hendak mewawancarai seorang narasumber dari bagian forensik. Kami bertiga malahan
sama-sama speechless mengakibatkan
saling baku hantam dorong menjadi juru bicara. Hahaha padahal setelah
basa-basi sedikit, narasumbernya berbaik hati bercerita banyak. Banyak hal yang
sebetulnya mudah malah terlihat mengerikan bagi kami bertiga (atau hanya bagi
saya :p). Sesi wawancara berikut-berikutnya sama kagoknya dengan yang pertama. Tapi masih lebih berkali-kali lipat
baiknya sih. Hahaha.
Agenda
berikutnya menyusun artikel. Saat itu saya stalking
banyak berita, tajuk rencana, opini dan artikel yang merujuk pada kasus
kriminalisasi dokter. Daripada sok tahu dan asal tulis, saya berusaha mencerna
banyak informasi untuk selanjutnya dikaitkan dengan tema isu yang akan kami
tuliskan. Ibaratnya, berlatih sebelum perang. Hehehe. Lagipula susah juga
menuliskan sesuatu dari hal yang belum kita ketahui sebelumnya.
Mas
Jindan banyak turun tangan ketika kami kesulitan menyusun tulisan. Memberikan
saran-saran agar tulisan terlihat lebih hidup
dan menarik. Oh, saya masih harus belajar banyak sekali sepertinya. Hahaha.
Sementara Mba Anes, saya bahkan tidak bertemu beliau sama sekali. Tetapi Mba
Anes memberi semangat secara intens, pun diselipi dengan perkataan, ‘deadline-nya malam ini jam dua belas, ya!
semangat’ yang langsung membuat kami bertiga saling ber-SMS, gimana nih, gimana?
Tetapi
ketika tulisan sudah selesai, beres dikirimkan ke editor —meskipun masih banyak
kerusakan di sana sini, dan sedikit belum puas dengan hasil kerja yang serabutan, melenceng dari deadline… everything is okaaaay rasanya
seperti ingin melompat-lompat saking bahagianya mendapatkan begitu banyak
pelajaran baru.
Semangat! | Photo Credit: here |
Saat
ini tinggal menunggu peresmian menjadi Awak Medisina —Medisiners, yang sesungguhnya dan profesional. Masa-masa penantian
yang tenang ketika tidak ada pesan masuk di ponsel dari editor,
Dek,
ditunggu naskahnya ya sampai jam….
xoxo,
Ma.♡
4 COMMENTS
Jadi penulis yang punya editor enak ya, bisa latihan semacam skripsi gitu. Jadi waktu Skripsi gak kaget waktu beberapa kali direvisi oleh editor (red: dosen pembimbing dan penguji) :D
BalasHapusJadi pemilik blog yang punya pembaca setia kaya mas Adit juga seneng :)) *bukan modus* hahaha
Hapusbahas dr Ayu ya, wah harusnya nih Medisina di sebar ke umum, biar kalangan umum tahu duduk perkara yang sesungguhnya huhuhu.. saya kadang pengen jelasin semua ke orang-orang awam soal masalah itu dan tahu nasib tenaga kesehatan yang sebenar-benarnya di Indonesia tercinta ini, tp banyaknya sih ngedebat balik atau apalah itu, jadinya gerah sendiri.. hiks
BalasHapusHahaha. Dorng-dorongan. Biasa banget itu terjadi di awal-awal, masih takut mau nanya-nanya gimana. Untung berdua, coba sendiri :p
BalasHapusHello, there! Welcome to harianiseng. Have you travel around here a lot, and get lost? Make sure to pay a visit later! Love.