#Fiksimini Empat (2)

Minggu, Januari 06, 2013


Cerita Sebelumnya : #Fiksimini Empat (1)


Sehangat pelukan hujan, saat kau lambaikan tangan
Tenang wajahmu berbisik, ‘inilah waktu yang tepat tuk berpisah’

“Berhentilah menangis, “ laki-laki itu memutuskan berbalik, berusaha menyelamatkan aliran waktu terakhirnya bersama gadis itu. “Gadis cengeng. Berusahalah tidak membenarkan julukan itu padamu, gadis manis.” Di tepuknya pelan puncak kepala Gadis itu, hal ringan yang selalu dilakukannya setiap kali si Gadis melempar lelucon padanya.

Bahu gadis itu tetap berguncang, gestur tubuhnya ketika tengah menangis terlalu sedih, tidak berhasil menghentikan tangisnya. “Jangan berkata seperti itu. Itu membuatku semakin ingin menangis, “ si Gadis merajuk.

Laki-laki bermata lembut itu merengkuh bahu si Gadis perlahan, seolah Gadis itu bertransformasi menjadi sebongkah porselen antik yang rapuh dan gampang pecah. “Aku lupa. Perbolehkan aku memelukmu sebentar.”

Selembut belaian badai, saat kau palingkan arah
Jejak langkahmu terbaca, ‘inilah waktu yang tepat tuk berpisah’

“Ya,” Gadis itu membalas rengkuhan Laki-laki bermata lembut, sepenuh hatinya. “Kamu laki-laki yang baik. Dan kamu berhasil membuatku menjadi perempuan paling bahagia selama ini. Terima kasih,” akunya pelan di sela isaknya.

“Tidak,” geleng Laki-laki bermata lembut, “Aku belum bisa membuatmu bahagia. Aku masih sering mengecewakanmu, membuatmu merajuk, lalu menangis. Padahal aku selalu berjanji tidak akan membiarkanmu menangis. Aku melanggar janjiku sendiri. Maafkan aku.”

Si Gadis memiringkan kepalanya sedikit, menatap laki-laki yang masih begitu dicintainya, lalu katanya, “kamu tidak melanggar janji. Memang aku yang terlewat cengeng, ya benar, pasti begitu.” Gadis itu mulai membagi senyumnya. “Hidupku akan semakin berat tanpa ada kamu. Kamu tahu? Sulit mencari orang sepertimu yang pandai menenangkan tangisku, “ aku si Gadis sembari tersenyum lemah.

Ku akan pahami cinta
Dengan apa yang terjadi
Pastikan saja mimpimu
Tetap berarti

Laki-laki bermata lembut terdiam, memejamkan matanya. Lelah dengan semua hal bodoh yang telah terjadi. Impiannya, impian gadis ini, mimpi-mimpi mereka yang pernah mereka angankan berdua, perjuangan mereka berdua untuk menyatukan kata ‘kita’ yang akhirnya harus berakhir. Jalan menuju impian mereka masing-masing berkelok, dan mereka berdua tidak bisa saling memaksakan kehendak untuk saling mengikuti.

“Pergilah,” keluh si Gadis. “Pergilah meraih mimpi-mimpimu. Aku akan berusaha bertahan hidup tanpamu, meski rasanya pasti sulit sekali.”

Laki-laki itu menatap si Gadis lembut, menyangkal perasaannya sendiri bahwa dia tidak baru saja mengenal gadis yang tengah direngkuhnya. Dia sudah mengenalnya begitu lama, dan dia tahu, dia merasakan hal yang sama, merasakan kehilangan yang sama.

“Terima kasih untuk selalu mengerti. Terima kasih untuk setiap cinta yang kamu berikan padaku. Kamu membuatku menjadi seorang laki-laki yang paling beruntung di dunia karena telah mengenalmu,” dia mengucapkan setiap kata dengan pelan, jelas dan tegas, “terima kasih.”

“Ya,” Gadis itu menelan ludah, lehernya tercekat ketika air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.

Laki-laki bermata lembut mulai melonggarkan pelukannya, kemudian berusaha tersenyum, “aku tidak pernah menyesal mengenalmu. Percayalah padaku.”

Si Gadis hanya mampu mengangguk. Wajah laki-laki bermata lembut terlihat buram karena terhalang air mata. Dia percaya.

“Aku akan pergi,” guman laki-laki bermata lembut. “Selamat tinggal, gadis cengeng.”

Laki-laki bermata lembut membalikkan tubuh dan berjalan pergi. Ingin cepat meninggalkan tempat itu, ketika didengarnya si gadis mulai terisak lagi. Butuh usaha yang begitu kuat untuk menahan kakinya agar tidak berbalik.

Laki-laki itu tahu, jika dia berbalik dan melihat gadis itu lagi, dia tidak akan sanggup meninggalkan gadis itu.

Sehangat pelukan hujan, saat kau lambaikan tangan
Tenang wajahmu berbisik ‘inilah waktu yang tepat tuk berpisah’
Selembut belaian badai, saat kau palingkah arah
Jejak langkahmu terbaca ‘inilah waktu yang tepat tuk berpisah’



Xoxo,

Ma
p.s:
Cerita ini terinspirasi dari lagunya Sheila On 7 di album 07 Des, “Waktu yang Tepat Untuk Berpisah”. Lagu yang sudah lama sekali, dan tengah saya dengarkan kembali.
Ada yang pernah bilang, ‘cerita yang bagus adalah cerita yang mampu membuat orang lain membuat ceritanya sendiri’. Bagi saya, bukan hanya cerita, lagu pun juga bisa. Bukankah lagu adalah cerita yang dinyanyikan? Yeah. Intinya sih sama saja, ya Hahaha.

Saya bukan pembuat cerita yang handal, jadi maukah berkomentar sedikit? Yaa, setidaknya buatlah saya sedikit senang dengan hadirnya komentar teman-teman J hehehe.



Sepertinya sedikit ada kesulitan kalau teman-teman ingin download file mp3-nya. Nah, karena saya baik, sila download saja di sini

You Might Also Like

9 COMMENTS

  1. Sebuah perpisahan memang terasa berat dan sekaligus menghadirkan keharuan. Apalagi berpisah dengan orang yang kita cintai dan butuhkan.
    Tema perpisahan denga aneka latar belakang memang cakep utuk dikisahkan.

    Cerita sederhana tetapi menarik.

    Jangan lupa mengikuti Goveaway di blog saya ya nduk.
    http://abdulcholik.com/2013/01/05/misteri-di-balik-layar/

    Salam hangat dari Surabaya

    BalasHapus
    Balasan
    1. iyaa. tapi nggak cakep kalau misalnya terjadi pada kita kan, Pak :3 hehe

      terimakasih :)

      Hapus
  2. Kunjungan balik :) Seneng nulis cerpen ya ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. haha ngga begitu sih, belum jago ngarang2 panjang :p

      Hapus
  3. hallo kakak, lama saya gak keisni :D .

    BalasHapus
  4. Haaiii asma ^^ Fiksimininya bagus dan keren loohh :D

    BalasHapus
  5. masih keren yang pertama sih menurut gua.
    kenapa harus dibuat partnya gitu sih pas lagi klimaks?

    BalasHapus

Hello, there! Welcome to harianiseng. Have you travel around here a lot, and get lost? Make sure to pay a visit later! Love.

FRIENDS OF MINE

Subscribe