Halte: Kamu dan Tunggu

Sabtu, Januari 31, 2015


“Halo. Aku datang lagi ke sini.”

Saya tengah menunggu kedatangan seorang sahabat baik di salah satu halte angkot di pinggiran kota. Duduk diam dan sibuk melamun. Satu angkot oranye lewat di depan saya meninggalkan klakson, isinya penuh anak sekolah berseragam batik. Membuat saya teringat pada masa-masa berpeluh setiap pagi ketika berangkat sekolah.

Bisa dibilang, saya adalah ‘penggemar-terpaksa’ dari angkot sejak SMP. Penggemar-terpaksa karena sesekali saya pun geram diharuskan berangkat sekolah selama enam tahun menggunakan angkot; sejak kelas tujuh hingga kelas dua belas. Sementara teman-teman lainnya sudah diperbolehkan membawa motor mereka sendiri.

Sepertinya tidak ada yang tahu bahwa dulunya halte tempat saya menulis ini adalah teman baik saya selama menunggu datangnya angkot ke sekolah. Bagaimana setiap pagi selama tiga tahun saya memeluh di atas besi hijaunya, atau terkadang berdiri di pojokan ketika dudukan halte tengah penuh. Berkali-kali menengok ke arah tikungan. Berharap angkot jurusan sekolah segera tiba.

Barusan saya lamat-lamat mengamati halte ini. Diam-diam berbisik:
“Kamu ternyata sama sekali tidak berubah, ya. Apa kamu masih mengingatku?”

Atap halte masih berwarna hijau gelap, sedikit-sedikit menyilaukan tertimpa cahaya matahari terik siang ini. Dudukannya hijau sewarna, dengan beberapa bagian memperlihatkan warna hitam dari besi yang terkelupas catnya. Keramik putihnya masih tampak serupa dari kali terakhir saya ke halte ini, satu tahun lalu, beberapa bagian yang berlubang bahkan masih tetap ada.

Spot yang menarik perhatian saya pada halte ini masih pada temboknya. Dari dulu, mereka selalu penuh dengan tempelan iklan-iklan rokok, pun terkadang sebagai ajang promosi event-event tertentu di kota. Setiap minggu, selalu ada tempelan poster baru, ditempelkan bertumpukan dengan poster lama. Sampai-sampai membuat permukaan asli dari tembok putihnya tidak pernah terlihat.

Satu angkot oranye datang. Kali ini kosong. Berhenti cukup lama di ujung halte.

Saya ingat. Dulu saya akan mendiamkan angkot jurusan sekolah ketika sampai di halte ini pukul enam seperempat. Sombong karena merasa tiba terlalu pagi. Lalu menghabiskan waktu lebih lama lagi duduk-duduk di halte.

Kali lain, saya akan berteriak sembari berlari terburu-buru ketika kesiangan; pukul tujuh kurang sepuluh. Lalu berusaha menarik perhatian supir angkot dengan melambai-lambaikan tangan heboh supaya tidak segera beranjak dari halte.

Kali lainnya lagi, saya akan berdiri di pojokan halte dengan melemparkan gelengan kepala pada setiap angkot yang lewat, sembari memeluk helm hitam sekadarnya. Kalau sudah begitu, itu artinya saya tengah menunggu Naufal datang untuk membonceng saya ke sekolah.

Pun pernah suatu pagi yang kesiangan, saya belum selesai mempelajari materi yang akan diujikan hari itu, lalu berniat berangkat ke sekolah lebih terlambat lagi supaya diperbolehkan mengikuti ulangan sesi kedua. Atau saya yang mengganti angkot ke jurusan rumah eyang alih-alih ke sekolah; membolos. 

“Apa kamu pernah melihat gadis selain aku yang selalu datang padamu dengan berkeringat?”

Saya tersenyum geli ketika merasakan permukaan kasar dari temboknya. Dulu saya pernah menggurat nama saya dan seorang pria baik di sini. Saya lingkari dengan gambar hati besar-besar. Ah. Rasanya sudah lama sekali.


“Apa kamu masih menyimpan guratan itu di tembokmu? Kamu tahu, dia masih pria yang sama yang pandai menjagaku dengan lumayan baik. Hingga saat ini.”
Purwokerto, Januari 2015

You Might Also Like

1 COMMENTS

  1. Kalo di Jakarta angkot warna Oranye namanya Metromini :D
    Wah, sama kayak saya nih, penggemar terpaksa angkot yang mau-nggak-mau harus terima keadaan kalo orangtua gak bolehin bawa kendaraan sendiri

    BalasHapus

Hello, there! Welcome to harianiseng. Have you travel around here a lot, and get lost? Make sure to pay a visit later! Love.

FRIENDS OF MINE

Subscribe