Maharani Sulaiman

Minggu, April 23, 2017

"Ashima, tadi pagi Abang bilang, aku harus mengikhlaskan Ibu."

Pagi tadi, selepas subuh, Maharani tiba-tiba meneleponku. Suaranya gemetar mengabarkan kondisi ibunya yang kritis. Ingatanku tenggelam pada Tante Swastika, salah satu dari sedikit perempuan yang aku kenal baik, tersenyum ceria saat memberiku keripik kentang buatannya untuk bekalku merantau. Itu sudah lama sekali, dua tahun yang lalu.

Aku terbatuk. "Tante Swastika gimana?" Suaraku habis, berkat bercangkir-cangkir kafein khas Lampung yang aku teguk semalam.

"Ibu masih ngga sadarkan diri." Di ujung telepon, suara Maharani mulai parau, diam-diam terisak. "Kata dokter, Ibu harus segera dioperasi bulan ini."

Aku tersudutkan pikiranku sendiri bahwa tidak sekalipun aku pernah melihat Maharani menangis.

Saat itu, umur kami baru empat tahun. Maharani pulang dengan kepala berdarah, dahinya robek, jatuh dari sepeda roda tiganya. Aku, si penakut, menangis meraung-raung di sepanjang perjalanan ke rumah, sampai-sampai membuat tetangga satu kompleks heboh. Maharani, anehnya, justru hanya tertawa-tawa, sambil sesekali menjilati darah yang meleleh ke mulutnya.

Saat umurnya sepuluh tahun, dia hanya melemparkan tatapan kosong ketika mengantar ayahnya ke tempat peristirahatan terakhir, lalu memeluk ibunya kuat-kuat. Setelahnya, Maharani menutup semua kenangan tentang ayahnya, seolah semuanya baik-baik saja.

Tahun lalu, dia berusaha keras menyelesaikan kuliahnya lebih cepat, demi mendengar bisnis keluarga mereka berada di ujung tanduk. Lebih buruk lagi, kondisi kesehatan ibunya mulai menurun. Maharani banting setir, dari perempuan ambisius yang terobsesi akan mimpi-mimpinya, menjadi seseorang yang pesimis.

Aku menemaninya menekuri berbagai lowongan pekerjaan di koran, membantunya mengirimkan aplikasi pekerjaan, atau bergantian menjaga Tante Swastika di rumah. Ketika akhirnya satu-dua panggilan kerja datang, Maharani menolak, pekerjaan itu mengharuskannya meninggalkan ibunya.

Selama ini, bagiku, Maharani yang menangis sangat tidak 'Maharani'. Bagiku, adjektif yang disematkan untuk Maharani berupa: kuat.

Suara Maharani kembali terdengar, "Biaya operasinya enam puluh juta, Ma. Karena itu, Abang bilang, sebaiknya kami mengikhlaskan ibu saja."

Aku terkesiap, "Maksudnya?"

"Abang mau ibu dibawa pulang saja, ngga usah dioperasi," tangis Maharani pecah, "Kami sudah ngga punya uang."

Ada hening panjang di tengah percakapan kami, "Aku tahu, kamu juga ngga punya uang sebanyak itu, Ma."

Dia tahu benar, aku yang bekerja sebagai ghost writer amatir, tidak pernah benar-benar menghasilkan. Enam puluh juta bukan jumlah yang sedikit. Mengerjakan seratus proyek pun, mungkin belum ada separuhnya terkumpul.

Tiba-tiba Maharani tertawa, "Menikah pun, paling kamu cuma di KUA, supaya gratis."

Aku terdiam mendengar gurauannya, diam-diam mengeluhkan kemampuan diriku karena selalu bodoh menemukan kata-kata dukungan yang tepat.

"Ashima," seru Maharani dari balik telepon, "Tolong doakan ibuku, ya."

"Aku sudah ngga tahu harus minta tolong sama siapa lagi. Sama presiden? Sama almarhum ayah? Sama orang kaya? Sama negara? Aku ngga tahu," Maharani merutuk, lirih, lalu menambahkan, "Aku hanya punya Tuhan."

Aku menghela napas, Maharani, jadi tetep kuat, keluhku diam-diam. Pikiranku ruwet. Ya, semoga saja, doa-doa dan pengharapan terbaik akan terlempar ke langit, bisa didengar.

"Aku ngga tahu, mungkin setelah Tuhan dengar, ibu bisa segera sembuh, mungkin, tiba-tiba ada uang enam puluh juta di rekeningku, atau mungkin, aku jadi lebih ikhlas melepaskan ibu."

Maharani semakin terisak. "Atau mungkin, ternyata ini cuma mimpi, Ma."

Hujan di luar semakin deras, kaki-kakinya berkelotakan di kaca jendelaku, berceceran di lantai balkon.

Tuhan, tolong.

You Might Also Like

11 COMMENTS

  1. Aduh sedih banget bacanya. Makanya, gua bertekad bahwa beberapa tahun ini gua harus sukses, supaya kalo suatu hari nanti orang tua gua sakit, gua mampu biayain pengobatan mereka. Biaya pengobatan di Indonesia tuh mahal banget, dan meski sudah dibantu asuransi kesehatan pun tetep bakal abis ratusan juta.

    BalasHapus
  2. Ini bukan fiksi kan, Mbak?
    *maafkeun pertanyaan lugu ini

    BalasHapus
  3. Wah inisih kayaknya bukan fiksi.

    Gue selalu melihat orang yang putus harapan mereka selalu bilang cuma Tuhan yang bisa mereka mintai tolong. Artinya bahwa Tuhan memang 'tak pernah nampak' tapi dia hadir di dalam qalbu kita. Memunculkan banyak harapan dan 'tempat' menggantungkan harapan..

    BalasHapus
  4. sebetulnya gue akan selalu menghindari untuk baca tentang hal seperti ini.
    ya karena belomm siap aja gitu, kalau ibu beneran kenapa''.
    yah, sebagai anak memang tugasnya harus bisa mensukseskan diri terlebih dahulu, supaya orangtua bangga.
    baca kayak ginian, bkin semangat jadi anak yg lebih rajin lagi.

    BalasHapus
  5. Hm, aku pernah beberapa kali mimpi ketika ayahku pergi. Alhamdulillah sampai sekarang orangtuaku lengkap dan juga saudaraku, aku sangat tidak ingin kehilangan mereka. Pernah sekali mimpi ayahku pergi, itu dalam mimpi, aku terisak di situ, aku menangis sejadi-jadinya. Aku mencoba tegar di tengah keluarga saat itu, mencoba tetap menjalani hari. Waktu bangun, air mata benar-benar menetes, aku langsung keluar kamar dan ketika ketemu ayah, beliau kupeluk erat :')

    BalasHapus
  6. sedih bacanya mbk, tapi campur kagum karena posisi temenmu yang lagi dalam masalah dan di uji, masih bisa tegar dan yang paling penting manusia harus yakin pada pertolongan Tuhannya.

    Bisa jadi pelajaran hidup ini mbk.

    BalasHapus
  7. kalau cerita ini fiksi, maka cerita ini merupakan fiksi yang merepresentasikan non fiksi. Masalah uang itu memang sering banget jadi persoalan buat orang-orang yang punya masalah kesehatan. ,Ketika pemerintah tak mau mendengar, mereka tau hanya Tuhan yang ingin mendengar/

    BalasHapus
  8. Sedih ya, tapi Maharani harus kuat, seusai namanya Maharani adalah ratu. Ratu di sini selalu digambarkan seorang wanita yang kuat, tegar dan selalu optimis. Selalu ada keajaiban disetiap doa :)

    BalasHapus
  9. semangaat , kmu harus kuat :)

    BalasHapus
  10. selalu suka gaya menulisnya mbak asma.

    semoga ibunya mbak maharani diberikan yang terbaik dari Tuhan.

    BalasHapus

Hello, there! Welcome to harianiseng. Have you travel around here a lot, and get lost? Make sure to pay a visit later! Love.

FRIENDS OF MINE

Subscribe