Rama: Hujan dan Enam (2)
Kamis, Februari 05, 2015
Sepotong senyum yang kau
titipkan pada arakan senja,
menghapus kesalku jadi
tawa merekah
—Moammar Eka
Halo.
Kamu ingat, tidak. Dulu, kesalmu adalah
ketika diminta menunggu. Kesalmu yang menyelamat-datangi kedatanganku dengan
muka masam tak acuh. Aku membalasnya dengan tawa cengengesan tidak berdosa,
merasa tidak perlu meminta maaf.
Menit berikutnya akan kamu habiskan dengan
diam. Diam saja. Mengomentari keluhanku tentang hujan yang terlambat datang
dengan kedipan mata. Membalas pertanyaanku tentang nilai ujian matematika
dengan mengangkat bahu. Kalau sudah begitu, aku tinggal sibuk menggodamu untuk
melelehkan kesalmu.
Dulu, pertengkaran kita tidak pernah serius.
Kita memang saling mendiamkan, tapi tidak perlu waktu lama untuk saling
mencari. Kangen. Berbaikan.
Pertengkaran kemarin membuatku berpikir bahwa
masing-masing dari kita sepertinya memang membutuhkan waktu untuk sendiri.
Lucu, bagaimana aku menjadi terlalu sentimentil dibanding biasanya, bagaimana
kamu membangun pertahanan terlalu kuat untuk memeluk egomu sendiri, tetapi
justru diam-diam melukaiku, membuatku merasa tidak bisa lagi membersamai
langkahmu.
Maka aku akan menyebutnya dengan “jeda”.
Jeda bagiku, adalah fase berdiam diri
sejenak, tidak melakukan apapun untuk urusan berdua. Menarik diri. Berpikir
sedikit lebih banyak tentang memahami—soal diri masing-masing, soal kita.
Apakah urusan perbaikan diri sudah usai? Apakah hal yang telah kita lakukan
secara alami memang ingin kita lakukan, dan bukannya karena ikatan? Apakah
kita, masing-masing, sudah cukup bisa
menjadi serius?
Kamu benar. Bukankah masing-masing dari
kita berhak bahagia—dengan jalan kita masing-masing—tanpa melulu saling
menuntut?
Dan rinduku tiba-tiba
dipenuhi keindahan yang berlimpah
—Moammar Eka
Lalu, saat kangenmu tiba usai jeda. Kamu
hanya tinggal meluangkan waktu sebentar untuk mendengarkan hatimu. Siapa tahu,
aku masih menjadi penjaga hatimu yang paling ulung.
“Hm. Kenapa sepi, ya?”
Banyumas, Februari 2015
6 COMMENTS
Jeda, ya benar, waktu berpikir. :D
BalasHapusJeda, ini kata lain dari berhenti sejenak :3
BalasHapusini buat seorang teman apa teman hati ya..
tapi memang kadang kalau udah pake hati ngambeknya agak lama.
otomatis masa berdiam diri semakin lama
apa vina masih belum ngeh dengan postingan ini . ya salam -_-
salam kenal lagi asma :D
Berhenti untuk sendiri dalam waktu yang lama.
BalasHapusYa, jeda merupakan fase paling menjadi alasan atau hanya sebagian dari apa yang bener2 kita harapkan. Hubungan memang selalu begitu, Selain tak tau tempat, hubungan juga tak punya rasa.
Tapi, hatilah yang memiliki rasa.
Semoga saja kamu bisa kembali dalam hangatnya canda dan sedikit mengingat bahwa cengengesan mu dirinkukannya.
duh.. aku baca ini gimana gitu.. mungkin lagi kangen. dan yang dikangenin... ah sudahlah -_-
BalasHapusHonestly, kata2nya indah sekaliii. I like this. Berbicara ttg jeda, gue jg seringkali ngerasa harus menjeda--berhenti sejenak--beristirahat--sekedar menarik diri dari lingkungan luar untuk introspeksi diri, merenung, dan menikmati waktu. Yaaa daripada keadaan semakin memburuk jika kita paksa untuk lanjutkan? Lebih baik menjeda sejenak--mengehela:)
BalasHapusjeda.
BalasHapuswaktu dimana kita mengurusi hal yang harus kkita perbaiki seorang diri tanpa orang yang disayang.
ini bener banget, mbak. gue nggak tau namanya apa, ternyata namanya jeda. waktu dimana seorang menarik dirinya, untuk memperbaiki apa yang kurang dalam dirinya. duh syahduuu, mbak~
*TSAAAH
Hello, there! Welcome to harianiseng. Have you travel around here a lot, and get lost? Make sure to pay a visit later! Love.