H: Selewat Cerita

Sabtu, Februari 07, 2015

Hai.

Tiba-tiba kamu datang begitu saja ketika aku mulai menulis sore ini, membuat keinginan menulisku reda. Padahal awalnya aku mau menulis untuk Langit. Ingin berterima kasih karena diberi hadiah Sirius pagi kemarin. Uh. Semuanya jadi kacau dan tidak berjalan sesuai rencana karena kedatanganmu.

Lihat. Kamu bahkan masih sempat cengengesan mendengar grundelan-ku, ya!

Jangan marah kalau aku bilang begini tapi itu memang benar. Biasanya kamu datang pukul sembilan malam. Sudah gelap di luar. Petir akan berbaik hati meminjamkan senternya sebentar padamu, dan—sesekali—mengantarmu ke rumah. Lalu kamu ribut mengetuk-ngetuk jendela kamarku. Kakimu yang runcing-runcing berkelotakan di balkon.

Ah. Aku jadi ingat kali pertama kita berkenalan, lalu berteman baik sampai sekarang.

Waktu itu kamu pakai gaun renda selutut—baju kesayangan, kamu bilang. Warnanya biru gelap seperti awan mendung barusan. Bukan warna kesukaanku. Aku lebih suka warna biru langit—lebih bagus! Saat aku bilang begitu, kamu mengomel, kalau langit pun kadang-kadang punya warna biru gelap yang jelek waktu sedih.

Aku diam saja waktu kamu bilang begitu—ngambek. Habisnya buatku langit kapan-kapan tetap saja punya warna yang bagus, tapi tidak pernah punya warna gelap seperti gaunmu itu. Kamu cuma senyum. Sedikit sekali. Sampai-sampai aku pikir kamu yang pelit senyum.

Saat aku kira kamu marah—siapa tahu aku salah ngomong, kamu menggandeng tanganku erat-erat. Lalu bisik-bisik kalau kamu akan mengajak aku melakukan yang hal paling menyenangkan. Aku cuma ketawa, karena buatku hal yang paling menyenangkan, ya, membaca buku. Paling menyenangkan sedunia malah.

Mukamu serius sekali waktu itu. Aku akhirnya diam dan melipat tawaku. Takut membuatmu benaran marah.

Kamu mengajak aku menari di bawah langit mendung pukul tiga sore. Bukan itu saja. Langit tiba-tiba saja menumpahkan sesuatu—ah, sebetulnya banyak—yang basah. Entah, waktu itu aku tidak tahu apa namanya.

Aku berteriak-teriak panik karena khawatir langit kenapa-kenapa. Bukankah selama ini langit selalu kelihatan sehat? Saat aku begitu, kamu malah menertawaiku. Bilang kalau semuanya akan baik-baik saja. Ah. Bagaimana mungkin?

Aku sedang berdoa untuk keselamatan langit saat kamu melempariku dengan sesuatu yang basah—dan dingin. Kamu tertawa-tawa lagi. Lalu aku mengaku kalau kamu memang punya tawa yang memikat untuk didengar. Membuatku akhirnya percaya kalau semuanya mungkin akan baik-baik saja—pun setelah kamu bosan mengatakannya padaku.

Kamu menggandeng tanganku lagi, erat-erat. Dan tiba-tiba saja hangat menggema di dasar perutku ketika kakiku menginjak rumput. Basah. Lalu harum meliuk di hidungku.

Petrichor!’ Kamu berteriak lantang.

Apa?

Lagi-lagi kamu tertawa, mengabaikan muka penuh pertanyaan milikku. Aku penasaran dengan sesuatu yang ditumpahkan langit. Mereka membuatmu tertawa lagi-lagi-lagi dari tadi.

‘Siapa namamu?’ Aku bergumam menanyaimu, itu pertanyaan penting bagiku. Iya. Meskipun biasanya beberapa menit setelahnya aku segera lupa.

Kamu menggeleng, ‘kamu akan tahu.’

Aku hanya ingat waktu itu tawamu menular padaku. Lalu kita sibuk bermain kejar-kejaran. Langit masih menumpahkan sesuatu, bahkan semakin banyak. Semuanya basah kuyup. Dingin. Tapi kamu benar. Itu adalah hal yang paling menyenangkan sedunia.

Ah. Aku malah sibuk menceritakanmu pada orang-orang ini. Tunggu, ya di balkon. Aku mau mengeposnya di blog sebentar.

Lalu seperti kebiasanmu dulu—sampai sekarang, kamu tertawa. Iya.


‘Diam-diam aku merapal namamu: Hujan.’

Yogyakarta, Februari 2015

You Might Also Like

36 COMMENTS

  1. wah asik tuh ceritanya... mengandung teka-teki... hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe. Asyik, ya. Sudah terpecahkan belum teka-tekinya?

      Hapus
  2. grendelan yang dimaksud itu apa ya ? hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Grundelan hm apa ya semacam ngomel-ngomel gitu.

      Hapus
  3. Ini yang nulis pinter ngerangkai kata banget sih. Kayaknya ngalir gitu kayak air. Hahahahahaha. Bagus nih, sukaaak!!
    Baru mampir sini kayaknya. Hahahha salam kenal. :)

    BalasHapus
  4. Jujur, ya. Pangeran selalu suka baca yang kek gini, ni.

    Sesaat setelah aku membaca tulisan ini, langit tampak sayu, bunga yang biasanya mekar, kini seperti merunduk, mendengar kisah ini. Sebuah cerita yang sederhana, dari cinta seorang wanita.

    Aduuh, pangeran kurang bisa nulis genre kek gini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ah, Mas Heru mendramatisir banget efeknya. Hahaha.

      Hapus
  5. alhamdulillah, nggak berkomposisi galau :P
    eh, tapi ngomong-ngomong, ini ceritanya surat, kan, ya? kok aku jadi bingung, hehe (-"-)v
    dan, eung, ngomong-ngomong lagi, jadi penasaran sama balas-balasannya di proyek :3

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya. Kalo yang lain galau banget, Kak Nilam. Hahaha. Iya ini lagi ikut proyek 30 hari menulis surat cinta hehe kalo ini bukan pasangan kaya dua hati jadi ngga ada balas-balasannya hehe.

      Hapus
  6. wah wah wah bahasanyaaa. Mama hebat ngerangkai kata. awalnya gk bsa nebak, trnyata hujaaan!

    BalasHapus
  7. Kalau seperti itu mungkin dia pingin tiap hari hujan..

    Salam kenal ya..

    BalasHapus
  8. masih tetap seperti postingan sebelumnya.. tetap keren dan vina tetap nggak bisa buat beginian -_-
    envy sih kadang..
    ini buatnya pas lagi hujan kah :3??

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe setiap orang punya keahlian masing-masing, kan? Iya.

      Hapus
  9. Duh...gue udah mikir yang macem2, gue kira dia itu semacam hantu..eh..taunya hujan.Hehehe

    Bener-bener ending yang nggak klise :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya akunya aja penakut gimana mau nulisin hantu, Bang ._.

      Hapus
  10. Apik mbak yu,, merapal hujan koyo merapal pacar~

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halah. Jomblo ae kok ngunek pacar-pacar :p

      Hapus
  11. yaahhh. kalau urusan surat cinta mah, emang elu jagonya. hahaha. selalu keren. tapi aku sendiri kurang suka hujan sih. apalagi kalau mau berangkat kuliah. huh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe kalo Bang Arman mah jagonya flashfiction. Semoga ngga jago mengetwistkan hatiku ya~
      Halah hujan air pun. Lemah.

      Hapus
  12. ceritanya bagus,rangkaian katanya keren mbak :D

    BalasHapus
  13. tulisanmu mba, udah paling mantep

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halah opo e, Kar hehehe masih compang-camping nih.

      Hapus
  14. Emang deh. Asma, ahlinya kalo bikin tulisan kayak gini. Bikin org kayak aku harus membaca sambil mikir utk tahu maksud sesungguhnya.... :'')

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ah ceritanya pengen bikin twist di akhir, bukan bikin pusing pala berbie bang :')

      Hapus
  15. kata-katanya penuh dengan puitisasi. dan aku selalu suka yang begini ! ~
    romantismemu menular pada diriku hingga akhirnya aku kejang-kejang dibuatnya. *eaaa

    BalasHapus
  16. boleh tanya, ini pakai sudut pandang apa ceritanya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Eh, i dont really good at theory but perhaps it seems kind of apa ya gatau juga hehehe.

      Hapus
  17. critanyaa kook hmpir mirip sama cerpennya bernaard klo gk slaah :D
    tpi kloo ini endingnya lbih aseek... klo cerpen yg ituu sad endiing :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Duh sebetulnya aku lupa latar belakang nulis ini kenapa hehehe tapi iya kalo hujan-hujannya sepertinya memang sedikit terinspirasi dari ceritanya Bang Bernard. Hm. Kumcer Milana kalo ngga salah ya?

      Hapus

Hello, there! Welcome to harianiseng. Have you travel around here a lot, and get lost? Make sure to pay a visit later! Love.

FRIENDS OF MINE

Subscribe